Guru di Tengah Badai: Ketika Pendidik Tersandera Politik Praktis

Guru di Tengah Badai,,!? : Ketika Pendidik Tersandera Politik Praktis Ismail Nasar Mahasiswa program S3 Ilmu Pendidikan Undiksha
Ismail Nasar Mahasiswa program S3 Ilmu Pendidikan Undiksha.

Sejak era kolonial hingga masa kemerdekaan, profesi guru Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis.

Kata guru berasal dari bahasa sansekerta, terdiri dari dua kata yaitu Gu yang berarti kegelapan atau ketidaktahuan, dan Ru yang berarti penghapusan atau pengusiran.

Kumpulan Artikel Populer:

Hari Guru Nasional: Peran Pendidik dalam Mewujudkan Pendidikan Berkualitas untuk SDGs

Guru secara harafiah digambarkan sebagai seorang yang menghapus kegelapan dan membawa pencerahan (pengetahuan dan kebijaksanaan).

Menurut UU nomor 14 tahun 2005, guru adalah pendidik profesional yang mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa di pendidikan usia dini, dasar, dan menengah.

Guru merupakan jantung dari pendidikan. Dalam struktur kekuasaan kontemporer, pendidikan merupakan medan pertempuran ideologis yang paling strategis.

Sebagai orang yang bertanggung jawab untuk menyampaikan pengetahuan, para guru seringkali terjebak dalam hubungan kuasa yang tidak netral.

Mereka lebih dari sekadar menyediakan materi ; mereka adalah aktor sosial yang memiliki kapasitas untuk mendorong kesadaran kritis atau sebaliknya, mempertahankan keadaan saat ini.

Karena kepentingan politik, guru di Indonesia seringkali dihadapkan pada dilema antara profesionalisme pendidikan dan tuntutan konformitas kekuasaan. Guru yang kita kenal selama ini sebagai pencerah dan penjaga moral bangsa sekarang berada di persimpangan yang mengkhawatirkan.

Kualitas pendidikan nasional kini diancam oleh politisasi guru. Bagaimana mungkin orang yang seharusnya menunjukkan netralitas justru terjebak dalam kepentingan politik pragmatis?

Fenomena guru yang terlibat dalam politik dapat dilihat dalam dukungan mereka terhadap calon kepala daerah, anggota legislatif, dan pemilihan presiden.

Menjelang pemilihan umum pada tanggal 27 November 2024, dan, seperti yang dikutip oleh Kompas pada tanggal 19 November 2024, mendikdasmen Prof Abdul Mu’ti, meminta guru untuk menghindari memasukkan pilihan politik mereka ke dalam pekerjaan mereka. Guru harus fokus mengajar, dan institusi pendidikan tidak boleh digunakan untuk mempromosikan calon-calon tertentu.

Guru adalah lebih dari sekadar orang yang berbagi pengetahuan; mereka adalah agen perubahan sosial yang sangat penting dalam membentuk karakter generasi. Namun, posisi mereka seringkali didegradasi menjadi objek kepentingan pragmatis kekuasaan dalam praktik politik modern. Fenomena pilkada lokal menunjukkan bahwa guru secara terang-terangan terlibat dalam timses pilkada.

Guru tidak hanya membantu calon mereka dalam pilkada, tetapi mereka juga memantau guru lain yang menjadi lawan politik mereka. Ada berbagai alasan mengapa guru mendukung calon dalam pilkada, seperti alasan balas jasa, kekeluargaan, teman, dan kekuasaan.

Pendidikan dan kekuasaan, keduanya adalah dua sisi dari koin yang sama. Michel Foucault adalah ahli teori kekuasaan. Dia melihat sekolah sebagai alat kekuasaan yang paling halus untuk menghasilkan subjek-subjek yang taat dan produktif.

Kelas bukanlah tempat yang bebas dari pengaruh ideologis; bahwa kelas tidak dapat dianggap netral bahkan dalam pencarian pengetahuan.

Sebaliknya, itu adalah ruang disipliner yang kompleks di mana praktik pengawasan, normalisasi, dan pembentukan pengetahuan mendapatkan kekuatan.